Hak Atas Kekayaan
Intelektual
Dimasukkan untuk
melengkapi tugas
Mata Kuliah Business
Law
(BSAD 222)
Dosen Pembimbing: Benny
Mangowal, Ph.D
Anggota Kelompok:
Kaitang, Novia
Wauran, Michelle
Tarck, Christian
UNIVERSITAS
KLABAT
Airmadidi, Manado
2011
Pengertian
Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan
gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak
untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang
hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada
umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai
jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut
dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya
koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara,
lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi,
dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu
jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari
hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli
atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta
biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu
dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin
terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Di Indonesia, masalah hak
cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini,
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak
cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
Hak-hak
Yang Tercakup Dalam Hak Cipta
1.Hak
eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang
umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
membuat salinan atau reproduksi
ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan
elektronik),
mengimpor dan mengekspor ciptaan,
menciptakan karya turunan atau
derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
menampilkan atau memamerkan
ciptaan di depan umum,
menjual atau mengalihkan hak
eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak
eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang
bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang
melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di
Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk
"kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan,
menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui
sarana apapun".
Selain itu, dalam hukum yang
berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan
hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya
seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara,
dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan
seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU
19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi
berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup
dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau
perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula
mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi,
dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
2.Hak
ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak
moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs
WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan
Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah
atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak cipta di
Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak
moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau
pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa
pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan
hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak
cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak
moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
Perkecualian Dan Batasan Hak
Cipta
Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif
yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah
doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang
memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal
diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian
ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut
atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan
yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan
dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan
pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu
ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip
harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya
nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu,
seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat
salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata
untuk digunakan sendiri.
Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk
memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta
demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun
melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan
nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat
menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan
ketertiban umum" (pasal 17). ketika orang mengambil hak cipta seseorang
maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di
lakukan
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil
rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan
hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis
lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di
Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada
dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau
perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli
tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita
aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran,
dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus
disebutkan secara lengkap.
Contoh Kasus Pelanggaran HAKI
di Indonesia
Contoh kasus mengenai pelanggaran Hak Kekayaan Indonesia (HAKI) dalam
bidang musik. PT EMI Indonesia perusahaan rekaman menghadapi tuntutan hukum
yang dilayangkan oleh seorang musisi dan pencipta lagu, atas dugaan pelanggaran
hak cipta Kohar Kahler, musisi dan pencipta lagu, menuding perusahaan itu telah
memperbanyak lagu ciptaannya, tanpa izin dirinya sebagai pemegang hak cipta.
Gugatan itu dilayangkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Dalam
gugatannya, Kohar menuntut EMI Indonesia untuk menghentikan kegiatan peredaran
lagu-lagu karyanya antara lain lagu Tiada Lagi dan Hilang yang dinyanyikan
penyanyi Mayang Sari. Selain itu, Kohar juga menuntut EMI Indonesia untuk
membayar ganti rugi Rp599,062 juta, yang merupakan ganti rugi materiil dan immateriil
yang diklaim Kohar telah dideritanya karena kehilangan kesempatan memperoleh
keuntungan sebagai pencipta lagu.EMI Indonesia, katanya tidak pernah
berhubungan secara langsung denganKohar. Dia menyebutkan EMI Indonesia membeli
master yang sudah jadi dari satu
perusahaan, yang telah menyelesaikan kewajibannya dengan Kohar. Akan tetapi,
sambungnya, karena telah memasuki proses persidangan, pihaknya akan mengikuti
persidangan itu dan meminta waktu kepada majelis untuk menyerahkan bukti-bukti
dokumen mengenai pembelian master dari perusahaan lain itu. Persengketaan antar
kedua pihak berawal dari Kohar merasa haknya sebagai pemegang hak cipta telah
dilanggar oleh perusahaan rekaman tersebut.Dia menuding EMI Indonesia telah
memperbanyak lagu ciptaannya tanpa izin darinya.
Semestinya aturan-aturan dalam pengerjaan untuk memperbanyak lagu-lagu
dipertegas dengan surat-surat yang menjamin perusahaan mendapat izin pencipta
lagunya. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi banyak pihak, supaya pihak-pihak
yang terlibat dapat menguntungkan satu sama lain. Disamping itu, akan
berjalannya keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing.
Contoh lainnya adalah PT Huawei
Tech Investment, pemegang hak cipta handset Huawei Esia di Indonesia, akan
mengambil tindakan hukum terhadap pihakpihak yang melanggar hak cipta miliknya “Kami tidak akan
segan untuk menindaklanjuti dengan langkah hukum yang lebih tegas sama halnya
seperti upaya pidana yang telah dilakukan sebelumnya,” ujar Ignatius Supriady,
kuasa hukum Huawei, kemarin. Pernyataan Ignatius itu dilontarkan terkait dengan
munculnya praktik unlocking yang dilakukan pihak lain terhadap handset Huawei
yang sejatinya khusus diciptakan agar hanya dapat digunakan untuk layanan jasa
telekomunikasi Esia bundling.
Dia menyebutkan sebetulnya
beberapa waktu lalu pihaknya telah mengambil tindakan hukum tegas terhadap
pihak lain yang melakukan praktik unlocking terhadap handset Huawei Esia Dari tindakan hukum tersebut, katanya,
pengadilan telah menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan
terhadap pihak ketiga yang mengunlock handset yang hak ciptanya dimiliki oleh
perusahaan tersebut.
Menurut saya tindakan unlocking
ini merupakan tindakan melanggar hukum, disamping itu juga merugikan relatif
besar bagi banyak pihak terutama bagi pihak pemegang hak ciptanya. Kerugian
tersebut baik secara material dan immaterial mempengaruhi iklim usaha,
investasi dan nama baik bagi perusahaan. Hal ini terjadi karena lemahnya hukum
yang berlaku di Indonesia. Pemerintahpun tak cukup ambil andil dalam masalah
ini sehingga barang-barang yang menjadi karya atau asset bangsa banyak dicuri
pihak lain. Selain itu, jalan terbaiknya sebagai produsen yang bertanggung
jawab perusahaan itu juga memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi hak cipta
atas produk-produk yang diciptakan oleh pihaknya. Misalnya, tetap untuk
melakukan pengawasan pasar akan barang-barang yang telah diciptakan perusahaan
tersebut.